Jumat, 31 Juli 2009

KISI KISI DO"A (Berita SBB 3)


إن الحمد لله ، نحمده ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ، وسيئات أعمالنا
من يهده الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله .
والصّلاة والسّلام على محمّد وعلى آل محمّد
(
وإذا سألك عبادي عنّي فإنّي قريب أجيب دعوة الدّاع إذا دعان فليستجيبولي وليؤمنوابي لعلّهم يرشدون)
البقرة اية 186
==========================

KISI KISI DO'A

Beragam penilaian org ttg doa, Sebagian menganggap tak perlu, karena semuanya sudah ditakdirkan. Namun, kaum sufi yakin menganggap penting, karena Allah sendiri memerintahkan berdoa dlm banyak ayat-Nya. Bahkan, Allah memberikan redaksi doanya. Lantaran kita percaya doa sebagai perintah, maka makbul atau tidaknya menjadi tak penting, karena doa tak lebih hanya sebagai bukti dari ketaatan sekaligus kepasrahan total kepada Allah.

Karena itu, kalau org yg berdoa dg menargetkan agar doanya makbul, sungguhlah egois, sama halnya dg memohon agar Allah menghadirkan surga di dunia ini. Dan, kalaupun benar doanya dikabulkan, mungkin mirip dg peristiwa kita memberi sekerat roti kepada pengemis yg tua dan buruk muka supaya ia lekas berlalu dari pintu rumah, begitulah tamsil yg dilukiskan oleh Jalaluddin Rumi. Biasanya org seperti inilah yg gampang menggerutu: Saya kerapkali berdoa, namun mulut saya yg berbusa belum juga disambut dg ijabah.

Keluhan macam ini sebenarnya bukan hanya terjadi di zaman modern ini, tapi juga terjadi pada org-org yg sezaman dg Ibrahim bin Adham, sufi berdarah biru dari istana Balkh, yg hidup pada abad ke-8. Dituturkan bahwa Ibrahim bin Adham rahimahullah melintasi pasar di Basrah. Lantas banyak manusia mengerubunginya, seraya berucap, "Wahai Abu Ishaq (Ibrahim bin Adham), kami sudah berdoa namun doa kami belum dikabulkan."

Jawab sang sufi, Hatimu telah redup oleh sepuluh perkara:
01. Engkau tahu Allah tapi engkau tidak menunaikan hak-Nya.
02. Engkau merasa mencintai Rasulullah namun engkau mencampakkan sunahnya (Hadis).
03. Engkau membaca Alquran namun engkau tidak mengamalkan (ajarannya).
04. Engkau nikmati segenap karunia Allah namun engkau tidak mensyukurinya.
05. Kau bilang setan adalah musuhmu namun engkau tidak melawannya.
06. Kau mengatakan bahwa surga adalah hak namun engkau tidak beramal untuknya.
07. Katamu neraka adalah hak namun engkau tidak lari darinya.
08. Menurutmu kematian adalah hak namun engkau tidak bersiap-siap untuknya.
09. Kau bangun dari tidur, lantas sibuk dg aib org lain, sementara borok sendiri tidak dihiraukan.
10. Kau telah mengubur orang-orang yang mati di antara kamu, namun kamu tidak mengambil pelajaran dari mereka.

Itulah sepuluh prinsip doa yg diajarkan oleh Ibrahim bin Adham. Semoga wasiat ini bisa menjadi peredam bagi kita untuk tidak gampang melemparkan sumpah serapah kepada Allah lantaran tidak segera mengabulkan doa kita. Karena boleh jadi keadaan tersebut justru kita ciptakan sendiri. Mari kita hiasi akhlak kita dg sifat ta'ani (santai) dan membuang jauh-jauh sifat 'ajal (tergesa-gesa), karena ketergesaan lahir dari setan, sementara setan adalah musuh kita yg paling nyata.
===========================================
Dikirim oleh Atik Maulana di meja redaksi SBB. Bagi rekan2 yg mempunyai makalah bagus ttg apa saja yg mau disosialisasikan lewat "BERITA TERBARU SBB", silahkan kirim ke alamat : markaz.sbb@gmail.com

============================================

Komentar.

=======

Syafiq Amadi berkata dalam "Pesan Dinding" : Semoga bermanfaath bgi diriku dan bagi rekan2 sekomuniras SBB, juga semoga segala apa yg q minta terkabulkan terutama selamat dunia akhirat amiin.

---------------------------------------------

Buku Pengemis berkata dalam "Pesan Dinding" : Bisa Jadi ...doa kita tak terkabul karena sudah menjadi ketetapan ALLAH

Dan Ya'qub berkata, 'Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal
dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri'." (Q.s. Yusuf: 67).
"Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Q.s. al-Hadid: 22-3).

-----------------------

Dianah Suffy berkata dalam "Pesan Dinding" : yang jelas semua do'a pasti terdengar oleh Allah swt.
dan menurut saya pribadi yang namanya do'a itu sudah suatu kewajiban buat kita ummat manusia yg lemah, dan bagi ummat islam khususnya do'a adalah sebagai senjata andalan kita. dengan berdo'a kita bisa merasa percaya diri di setiap langkah dan perbuatan.

-------------------

Hujjah Almanhaj berkata dalam "Pesan Dinding" : Terkadang kita lupa bedo’a sebelum dan sesudah beraktivitas. Bahkan kita sering menyepelekan do’a.Kita menganggap doa’ tidaklah penting, yang terpenting adalah usaha/kerja/aktivitas.Kita lebih mengedepankan rasionalitas kita dalam mencapai suatu hal.
Menurut saya, do’a memiliki peran yang sangat urgen/penting.
pertama dan terutama, dengan berdo’a kita telah menyandarkan aktivitas kita kepada Allah Yang Maha Kehendak.Kita sebagai org beragama tentunya mempercayai dan menyakini bahwa, apapun yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendakNya, apabila Ia berkehendak maka jadilah sesuatu yg dikehendakinya itu. Dg berdo’a, kita memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar tujuan kita melakukan aktivitas direstuinya sehingga akan terwujud.Kita adalah manusia biasa yg tak memiliki kuasa apapun bila dibandingkan dg kekuasaan Yang Maha Kehendak.Oleh karena itu jangan pernah kita lupa memohon kepada Allah swt agar kita diberikan jalan yg lurus sehingga tujuan kita berdo’ terwujud.

---------------------------------------------

Nanda Munirah berkata dalam "Pesan Dinding" : Semoga Allah memberikan berkah dalam sepanjang hidupmu ya Atik Maulana. thx atas infonya.
Ni insya Allah sangat berguna atas kita semua. thx Atik Maulana

------------------------------------------------------------------------------

Syamsul Hidayah berkata dalam "Pesan Dinding" : بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ Whoever treads a path in search of knowledge, Allah will make easy for him the path to Jannah. [Bukhari]

---------------------

Dianah Suffy berkata dalam "Pesan Dinding" : sip.... 2 Syamsul
Memang asyik jika berkumpul dengan orang yang shalih. Sungguh menyenangkan meluangkan waktu berkumpul dengan ahli ilmu. Seperti dinasehatkan Lukman kepada anaknya: "Hai anakku; bergaullah rapat dengan orang yg alim lagi berilmu.
memang yg namanya nasihat atau sosialisasi dlm kebaikan itu bener2 bermanfaat yah bagi orang2 yg beriman, thx atas partisipasi dan ungkapan hadistnya, semoga saja kawula muda kita akan terus danterus menuntut pengetahuan. amin yarobbalalamiin

------------------------------------------------------------------------------

Safin Halid berkata dalam "Pesan Dinding" : do'a itu satu2nya pusaka kita ummat islam.
thx atas sosialisasix wat Atik Maulana.
lama juga g komentar nih
eh ia tmn2 semoga jangan bosen juga doain w semoga cepet punya istri sholihah, cantik, manis, pengertian, nerima apa adanya, seiman dan seagama.amiin

----------------------------------------------------------------------------------------

Faridah Siti berkata dalam "Pesan Dinding" : Tengkyu2...
Smg bs mnyejukkan hti.

---------------------------------

Reni Ariayanti berkata dalam "Pesan Dinding" : allah sll mengabulkan doa hambanya bahkan lebih dari yg diminta..subhanallah.."dan nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan".

------------------

Nova Natalia berkata dalam "Pesan Dinding" : dunia semangkin tua, tanda2 kiamat udah bnyk knp org2 pada blm sadar.

--------------------------------------------

Zulfikar Zul berkata dalam "Pesan Dinding" : @Nova, pstinya karna Allah blm membrikan Hidayah kpd mrka :-), wat kita yg udah, smga Allah menetapkan iman, islam kita, Yaa Allah Biha Yaa Allah Biha Yaa Allah Bihusnil Khatimah

----------------------------------------------------------------------------------------

Keyca wulansari Marhadi berkata dalam "Pesan Dinding" : Yo yo bngun 3 bg yg blm sadr bertobatlah biar msk surga kwk . .

----------------------------------------------

Hujjah Almanhaj berkata dalam "Pesan Dinding" : thx atas info dan sosialisasi yg sangat berharganya wat Atik Maulana

-----------------------------------------------

Aniezha Imoethia berkata dalam "Pesan Dinding" : Semoga forum ini membawa pencerahan bagi jiwa-jiwa yang sepi, amin......

=================================

Catatan SBB.

وقت استجابة الدعاء

1 - يوم عرفه .

2 - ليلة القدر .

3 - في الثلث الأخير من الليل .

4 - بين الأذان و الإقامة .

5 - يوم الجمعة .

6 - في السجود أثناء الصلاة .

7 - أدبار الصلوات المكتوبة .

8 - في السفر .

9 - عند نزول الغيث .

===============================================

ISLAM DI INDONESIA DAN POTENSINYA
SEBAGAI SUMBER SUBSTANSIASI IDEOLOGI DAN ETOS NASIONAL

Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang
menjadi kerakteristik utama bangsa itu. Maka dengan sendirinya
juga Bangsa Indonesia. Etos itu kemudian dinyatakan dalam
berbagai bentuk perwujudkan seperti jati diri, kepribadian,
ideologi dan seterusnya. Perwujudannya dalam bentuk perumusan
formal yang sistematik menghasilkan ideologi, khususnya di
zaman modern ini. Berkenaan dengan bangsa kita, Pancasila
dapat dipandang sebagai perwujudan etos nasional kita dalam
bentuk perumusan formal itu, sehingga sudah sangat lazim dan
semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi nasional.

Tetapi Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak
saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tapi juga
lebih-lebih lagi karena ia ditampilkan oleh seorang atau
sekelompok orang dengan wawasan modern, yaitu para bapak
pendiri Republik Indonesia, dan dimaksudkan untuk memberi
landasan filosofis bersama (common philosophycal ground)
sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu Masyarakat
Indonesia.

Sebagai produk pikiran modern, Pancasila adalah sebuah
ideologi yang dinamis, tidak statis, dan memang harus
dipandang demikian. Watak dinamis Pancasila itu membuatnya
sebagai ideologi terbuka. Presiden Soeharto pernah menegaskan
sifat Pancasila sebagai ideologi terbuka itu pada beberapa
kesempatan, secara lain pada Kongres dan Seminar Nasional
Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS)
di Ujungpandang, 15 Desember 1986.

Dalam hal perumusan formalnya, Pancasila tidak perlu lagi
dipersoalkan. Demikian pula kedudukan konstitusionalnya
sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam
pluralitas Indonesia, juga merupakan hal yang final (untuk
meminjam ungkapan. Kiai Haji Ahmad Shiddiq, Ra’is Amm Nahdlat
al-’Ulama). Namun dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya
sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang

senantiasa tumbuh dan berkembang, Pancasila tidak bisa lain
kecuali mesti dipahami dan dipandang sebagai ideologi terbuka
yang dinamis. Oleh karena itu tidak mungkin ia dibiarkan
mendapat tafsiran sekali jadi untuk selama-lamanya (once for
all). Pancasila juga tidak mengizinkan adanya badan tunggal
yang memonopoli hak untuk menafsirkannya, yang monopoli di,
dalam contoh-contoh masyarakat totaliter seperti negara
komunis (yang kini sedang runtuh itu) selalu menjadi sumber
manipulasi ideologis dan menjadi agen yang siap setiap saat
memberi pembenaran kepada praktek kekuasaan sewenang-wenang
dan zalim. Otoriterianisme dalam sejarah selalu dimulai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang mengaku sebagai pemegang
kewenangan tunggal di suatu bidang yang menguasai kehidupan
orang banyak, khususnya bidang ideologi politik.

Kemestian logis akibat deretan argumen itu ialah bahwa
masyarakat dengan keanekaragamannya harus diberi kebebasan
mengambil bagian aktif dalam usaha-usaha menjabarkan
nilai-nilai ideologi nasional itu dan mengaktualkannya dalam
kehidupan masyarakat. Setiap usaha menghalanginya akan menjadi
sumber malapetaka, tidak saja bagi negara dan masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat majemuk, tetapi juga bagi
ideologi nasional itu sendiri sebagai titik tolak pengembangan
pola hidup bersama.

ISLAM DI INDONESIA

Sudah menjadi bagian dari retorika di negeri kita ini bahwa
Islam adalah agama mayoritas. Retorika itu malah menyebutkan
angka 90 sebagai persentasi kaum Muslim dari seluruh penduduk
negeri, tanpa pernah dipersoalkan dari mana asal-usul angka
itu selain perkiraan dan kesan. Karena itu kuatnya efek
retorika itu maka ketika sensus menunjukkan angka kaum Muslim
Indonesia kurang (sedikit) dari 90 persen, timbullah berbagai
tafsiran terhadap kehidupan keagamaan masyarakat kita, baik
berdasarkan fakta maupun fiksi.

Walaupun begitu, Islam memang merupakan agama bagian terbesar
bangsa kita, apapun makna penganutan mereka terhadap agama itu
dan betapapun beranekanya tingkat intensitas penganutan itu
dari kelompok ke kelompok dan dari daerah ke daerah. Namun
kenyataan sederhana ini saja kiranya sudah cukup memberi
alasan keabsahan bagi pembicaraan tentang Islam di negeri kita
dan perannya dalam substansiasi ideologi nasional, tanpa
eksklusifisme, dan tidak dalam semangat kesewenangan suatu
kelompok besar.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam pembicaraan tentang
pokok persoalan ini, dirasa ada manfaatnya menelaah sejenak
keadaan Islam di Indonesia. Telaah yang benar-benar
komprehensif tentu tidak mungkin, sehingga yang bisa dilakukan
di sini ialah sekedar mengemukakan beberapa masalah menonjol
atau high lights yang dianggap relevan.

Di antara berbagai ekspedisi militer Islam, termasuk yang amat
gemilang ialah ekspedisi guna membebaskan (fat’h) Semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugis) serta Lembah Sungai Indus (Anak
Benua India sebelah Utara), kedua-duanya terjadi pada tahun
711, di masa pemerintahan Khalifah Umawi al-Walid ibn ‘Abd
al-Malik (pembangun kembali Masjid al-Aqsha yang masih ada
sampai sekarang). Sekitar 100 tahun setelah itu Pulau Jawa
menyaksikan kesibukan luar biasa, yaitu pembangunan tempat
suci dan monumen keagamaan Budhisme yang amat megah,
Borobudur. Dan sekitar seabad lagi setelah itu kesibukan luar
biasa terjadi lagi, berhubung dengan pembangunan tempat suci
dan monumen keagamaan Hinduisme yang juga sangat mengesankan,
Lara Jonggrang (Prambanan).

Kemudian tepat empat ratus setelah pembebasan Iberia dan
Hindustan itu, yaitu pada tahun 1111, seorang pemikir besar
Islam, al-Ghazali, wafat. Lintasan sejarah ini lebih-lebih
lagi menarik, mengingat bahwa nama al-Ghazali sering
disebut-sebut dalam kaitannya dengan anti klimaks peradaban
Islam. Dan tentu lebih menarik lagi untuk diketahui bahwa
ketika al-Ghazali sibuk dengan polemik-polemiknya tentang
filsafat, boleh dikatakan kepulauan Nusantara sebagai
keseluruhan belum mengenal Islam. Jika kita ambil Pulau Jawa
sebagai misal, maka kita dapatkan bahwa al-Ghazali hidup
beberapa dasawarsa sebelum tampilnya Raja Jayabaya dari
Kediri.

Memang tidak adil untuk begitu saja menilai, apalagi menuduh,
seorang tokoh yang amat berjasa seperti al-Ghazali sebagai
penyebab kemunduran Islam. Tetapi kenyataannya ialah bahwa
setelah abad ke-12 itu, peradaban Islam, khususnya yang berada
dalam lingkungan budaya Arab, memang menunjukkan garis
menurun. (Sedangkan di luar lingkungan Arab, khususnya dalam
lingkungan budaya Persi, peradaban Islam itu masih menunjukkan
vitalitasnya dan perkembangan lebih lanjut yang cukup
menakjubkan, terbukti kelak dalam tampilnya tiga kemaharajaan
mesiu -gunpowder kingdoms- Mogul di India, Safawi di Persia
dan Utsmani atau Ottoman di Turki).

Lebih menarik lagi ialah bahwa ketika sedang giat-giatnya
dilakukan usaha pembebasan India Selatan oleh kekuasaan Islam
dari India Utara serta pada saat-saat permulaan perkembangan
Turki Utsmani, kawasan Nusantara masih menyaksikan bangkitnya
kekuasaan Hindu yang hebat, yaitu Majapahit (tepatnya tahun
1293). Seperti kita ketahui, banyak dari unsur-unsur mitologi
Majapahit itu yang masih bertahan (atau dipertahankan) dalam
masyarakat Indonesia modern.

Beberapa kenyataan historis itu dipaparkan di sini untuk
menunjukkan betapa perkenalan Nusantara secara keseluruhan
(artinya, terkecuali daerah-daerah tertentu seperti Aceh,
misalnya) kepada Agama dan Peradaban Islam itu relatif belum
lama. Di banding dengan India Utara, perkenalan Nusantara
kepada Islam adalah sekitar tujuh atau delapan abad lebih
kemudian. Ini berdasarkan pendapat banyak ahli bahwa Islam
mulai hadir secara efektif di Nusantara, khususnya di
Semenanjung Melayu Selatan dan di kota-kota pantai pulau-pulau
besar, pada akhir abad 15, mengikuti perpindahan Raja Malaka
ke agama Islam pada awal abad itu.

Di beberapa tempat, kehadiran Islam itu mendorong terjadinya
perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan
politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam
juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk
masa itu. Dapat disebutkan dua hal yang ama penting di sini.
Pertama ialah sifat Islam sebagai agama egaliter radikal, yang
antara lain berakibat kepada penyudahan sistem kasta dalam
masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati
(keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang sedang
membakar jenazah suaminya –yang akhir-akhir ini, sungguh
ironis, dicoba dihidupkan kembali oleh kaum Hindu
fundamentalis di India). Kedua, Agama Islam dengan kesadaran
hukumnya yang amat kuat (kesadaran Syari’iah dalam makna
sekundernya) telah melengkapi penduduk Nusantara, khususnya
para pedagang, dengan sistem hukum yang berjangkauan
internasional, yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam
konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada dalam
kekuasaan Islam.

Tetapi kekuasaan politik Islam di Nusantara tidak pernah bisa
mencapai kebesaran dan kehebatan kekuasaan politik Buddhisme
Sriwijaya dan Hinduisme Majapahit. Apalagi tidak lama setelah
Islam mulai hadir di Nusantara ini bangsa-bangsa Barat pun
mulai juga berdatangan. Mula-mula agaknya mereka hanya
bermaksud mengambangkan perdagangan sebagai kelanjutan
dorongan Merkantilisme Eropa setelah perkenalan mereka dengan
Dunia Islam. Tetapi kemudian ternyata mereka tidak cukup hanya
dengan perdagangan, dan mulailah praktek-praktek penjajahan
dan imperialisme.

Itu semua dengan sendirinya mendapatkan perlawanan sengit dari
bangsa-bangsa Nusantara. Maka kehadiran Islam terjadi tepat
pada waktunya, karena agama itu mampu dan dibutuhkan untuk
melengkapi penduduk Nusantara dengan ideologi yang segar dan
tegar untuk menghadapi dan melawan bangsa-bangsa Barat itu
(sebanding dengan Marxisme sebagai kelengkapan ideologis
bangsa-bangsa terjajah dalam melawan para penjajah mereka pada
abad 20 ini). Oleh karena sementara ahli melihat kehadiran
bangsa-bangsa Barat di Nusantara merupakan mixed blessing bagi
Islam: di satu pihak, karena fungsinya sebagai kelengkapan
ideologis yang sedang diperlukan oleh penduduk Nusantara
menghadapi bangsa-bangsa Barat itu sendiri, maka kehadiran
kaum penjarah itu justru mempercepat penyebaran Agama Islam ke
hampir seluruh pelosok; tetapi, di pihak lain, justru
kesibukan menghadapi dan melawan kaum penjarah dari Barat itu
–biarpun dengan menggunakan bendera Islam– membuat persepsi
sebagian besar penduduk Nusantara kepada Agama Islam menjadi
bersifat sangat politis (yaitu dalam fungsinya sebagai
ideologi politik), dan persepsi mereka kepadanya sebagai agama
an sich yang amat mendalam menjadi banyak tertunda. Ini
menyebabkan adanya kesan yang umum dipunyai para pengamat
bahwa Islam di Nusantara itu lemah dari segi pemahaman dan
penghayatan para pemeluknya terhadap ajaran agama itu, bahkan
ketimbang, misalnya, pemahaman dan penghayatan para pemeluk
agama itu di India pada saat-saat kelemahannya.

Dalam masalah keislaman ini, India memang menyediakan bahan
perbandingan yang menarik bagi Indonesia. Sementara di India,
baik sebagai negeri merdeka sekarang ini (dengan nama resmi
Bharat) maupun sebagai Anak benua yang meliputi juga Pakistan
dan Bangladesh (”British India”), para pemeluk Islam selamanya
merupakan golongan minoritas, namun agama Islam telah secara
amat jauh mempengaruhi pola-pola budaya penduduk, biarpun
mereka yang Hindu. [1] Kuatnya penetrasi budaya Islam di Anak
benua tercermin dalam jumlah bangunan-bangunan Islam yang
megah, yang kini menjadi obyek turisme India modern, sementara
kuil-kuil Hindu-Buddha tidak memiliki daya tarik sekuat
bangunan-bangunan Islam itu. Dan lemahnya penyerapan budaya
Islam di Indonesia tercermin dalam masih tetap pentingnya
fungsi bangunan-bangunan megah Hindu-Budha sebagai obyek
turisme Indonesia modern, sementara bangunan-bangunan Islam
sendiri hampir tidak berarti. [2]

Sudah tentu semua kenyataan tersebut itu, ditambah dengan
banyak kenyataan lain yang tidak mungkin dijabarkan seluruhnya
di sini, mempunyai akibat-akibat yang cukup jauh. Salah
satunya ialah bahwa sementara Indonesia merupakan kesatuan
bangsa Muslim terbesar di muka bumi, namun kontribusi kultural
dan, lebih-lebih lagi, intelektualnya sangat jauh di bawah
proporsinya. Dalam bidang intelektual itu boleh dikata
Indonesia hanya menjadi konsumen untuk produk-produk Anak
benua ke barat. Ini dengan mudah dapat dilihat dalam kuantitas
komparatif kepustakaan ilmiah Islam di Indonesia dan di
negeri-negeri lain, untuk tidak menyebut kualitas
komparatifnya (misalnya dari segi orisinalitas suatu
kontribusi intelektual)

Berdasarkan hal itu semua maka kiranya cukup beralasan suatu
pandangan bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya masih dalam
tahap perkembangan dan pembentukannya, dan masih sedang
menyiapkan masa depannya secara sangat menentukan.
Sesungguhnya pula bahwa Umat Islam Indonesia sekarang ini
betul-betul baru pada tahap permulaan mengecap hasil
perjuangan mereka sendiri selama berabad-abad melawan dan
menghalau penjajah. Telah dikemukakan di atas fungsi Islam di
Nusantara sebagai kelengkapan ideologis menghadapi penjarah

yang datang dari Barat. Tradisi dan sejarah panjang semangat
perlawanan terhadap para penjarah Barat itu secara alami
membuat kaum Muslim sebagai yang paling berkepentingan
terhadap kemerdekaan. Ini dinyatakan secara simbolik dalam
sikap Kiai Mohammad Hasyim Asy’ari (sebagai Ra’is Akbar
Masyumi sebelum malapetaka perpecahannya) yang atas nama para
‘ulama, seluruh Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa membela dan
mempertahankan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah
perang suci di jalan Allah dan tewas di dalamnya adalah
kesyahidan (syahadah). Fatwa inilah yang sangat membantu
membuat peristiwa 10 November di Surabaya begitu heroik, yang
kemudian ditetapkan Hari Pahlawan negara kita.

PERAN HISTORIS WARGA YANG BERSEMANGAT KEISLAMAN

Partisipasi warga Indonesia yang bersemangat Keislaman dalam
perjuangan untuk pertahanannya tentu sangat menentukan,
sehingga para pendiri Republik ini secara arif bijaksana
mengenangnya dengan mendirikan masjid monumen Syuhada
(Pahlawan) dan Istiqlal (Kemerdekaan). Dengan jelas kedua
monumen itu melambangkan pengakuan tentang adanya
Keindonesiaan dengan Keislaman, serta antara kemerdekaan
dengan peran besar warga negara yang bersemangat Keislaman.
Hal itu akan tetap demikian tanpa bisa diubah lagi, meskipun
mungkin peran warga negara dengan semangat Keislaman itu dalam
fase-fase yang lebih memerlukan keahlian teknis dan
pengelolaan (managerial) sangat di bawah proporsi. Tetapi jika
kita mengetahui bahwa kurangnya peran mereka di bidang ini
ialah karena rendahnya atau malah tidak adanya pendidikan
(modern, yakni, Belanda) pada mereka dibandingkan dengan warga
lain yang lebih “beruntung”, maka sesungguhnya adalah suatu
ironi jika kita tidak justru menunjukkan sikap penuh hormat
kepada mereka. Sebab tidak adanya pendidikan modern Belanda
pada mereka adalah justru akibat patriotisme mereka yang
berkobar-kobar, yang membuat mereka selalu menempuh jalan
tidak kenal kompromi terhadap Belanda, termasuk tidak kenal
kompromi dalam bidang pendidikan dan budaya pada umumnya. Dan
keadaan itu menjadi lebih parah lagi karena pemerintah
kolonial justru bersikap diskriminatif terhadap mereka, yang
secara sengit mengingkari hak-hak mereka, termasuk dan
terutama hak untuk memperoleh pendidikan yang wajar. Warga
negara yang bersemangat Keislaman itu sedikit tertolong untuk
suatu jangka waktu tertentu oleh bergabungnya dengan mereka
sejumlah kecil warga yang berpendidikan Belanda -karena mereka
datang dari keluarga dengan latar belakang sosio-kultura yang
diuntungkan dan disenangi (favourable) dalam sistem masyarakat
kolonial Hindia Belanda. Tetapi karena bagaimanapun juga
proses itu kurang wajar, maka secara tidak tertolong hal itu
menimbulkan problem legitimasi kepemimpinan intern lembaga
yang menghimpun warga bersemangat Keislaman itu, dengan akibat
rongrongan atas pertumbuhan dan pengembangan kemampuannya. Dan
karena ketidakwajaran itu ibaratkan sistem pembudidayaan
tanaman melalui okulasi, maka justru setelah pohon itu besar
kemungkinan patah batang dan tumbang semakin besar, dan memang
begitulah yang terjadi dengan keprihatinan semua pihak. Tapi,
betapapun, karena sifat dan fungsi warga yang bersemangat
Keislaman itu sebagai tulang punggung dan inti (core) sistem
kemasyarakatan (societal system) Indonesia, maka lambat atau
pun cepat mereka akan mewujudkan peran itu di semua bidang
kehidupan, sambil untuk sementara ini dan mungkin selamanya
akan tetap berfungsi sebagai reservoir patriotisme yang
sewaktu-waktu maju ke depan memenuhi panggilan tanah air. Hal
ini barkali-kali telah terbukti (yang terakhir ialah panggilan
tanah air untuk menghancurkan kaum komunis, yang kemudian
menghantarkan bangsa kita memasuki Orde Baru sekarang ini).
Dengan partisipasi penuh dalam pendidikan modern dan dalam
semua segi kehidupan nasional lainnya, para warga yang
bersemangat keislaman itu sekarang sedang mengumpulkan
pengetahuan, kemampuan dan pengalaman teknis yang amat
diperlukan bagi terlaksananya peran pada tingkat yang lebih.
tinggi dan menentukan di masa datang. Halangan psikologi
politik warga bersemangat keislaman untuk ikut serta
sepenuhnya dalam pendidikan modern mulai sangat menipis baru
sejak tahun 1950 berkat kesepakatan antara Menteri Agama, A.
Wahid Hasyim, dan Menteri P dan K, Bahder Djohan (dalam
kabinet Natsir dari Masyumi) untuk mengadakan mata pelajaran
umum di sekolah-sekolah agama dan mata pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum. Kesepakatan kedua menteri itu telah
terbukti menjadi titik tolak proses dan perjalanan kedua
sistem pendidikan Indonesia (”madrasah” dan “sekolah”) menuju
ke arah titik temu atau konvergensi. Dan titik temu serta
konvergensi itu saat-saat sekarang sudah mulai dengan jelas
menunjukkan wujud kongkritnya seperti, misalnya, sangat
meningkatnya kegairahan kepada Keislaman di lembaga-lembaga
pendidikan umum dan tidak lagi terasa asingnya ilmu
pengetahuan modern di lembaga-lembaga pendidikan Keislaman.
Jika kecenderungan ini berlanjut terus dengan baik, maka tidak
mustahil Indonesia akan memiliki sistem pendidikan tunggal
yang lebih efektif akibat terjadinya konvergensi total kedua
sistem pendidikan tersebut. Dan itu berarti bahwa sesungguhnya
hari-hari ini kita sedang menyaksikan berlangsungnya proses
pertumbuhan bangsa kita -melalui segi tertentu sistem
pendidikan kita yang bersangkutan dengan rasa keabsahan menuju
kepada fase baru perkembangan nasionalnya dengan identitas
kultural yang lebih sejati dan menyiapkan pangkal tolak yang
kukuh untuk “lepas landas” (meminjam ungkapan atau jargon
politik paling umum dewasa ini).

ISLAM DAN SUBSTANSIASI IDEOLOGI DAN ETOS NASIONAL

Telah dikemukakan bahwa ideologi nasional Pancasila, untuk
meminjam ungkapan Kiai Ahmad Shiddiq, adalah final berkenaan
dengan fungsinya sebagai dasar kehidupan bernegara dan
bermasyarakat dalam konteks kemajemukan Indonesia. Kefinalan
itu juga berkenaan dengan perumusan atau pengkalimatan
formalnya sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 46.

Kita ketahui bahwa proses menuju kepada kefinalan itu telah
sempat menimbulkan polemik dan kontroversi yang tajam dalam
masyarakat. Kini dengan lega hati kita menyaksikan bahwa
banyak sekali dari kekuatiran yang ada di balik polemik dan
kontroversi itu ternyata tidak ada. Bahkan terhadap
tanda-tanda tentang adanya perkembangan yang lebih positif
daripada yang diduga semula.

Tetapi untuk memperoleh agak lebih jauh dalam garis argumen
ini dirasa perlu disinggung beberapa hal. Banyak dari
kekuatiran di balik sikap enggan menerima kefinalan Pancasila
(dalam pengertian Kiai Ahmad Shiddiq itu) yang timbul dari
dugaan bahwa Pancasila akan diarahkan kepada posisi sebagai
padanan (equivalent), jika bukannya malah saingan, bagi suatu
agama. Atau, lebih sederhananya, Pancasila “akan diagamakan”,
menggantikan suatu agama atau agama-agama yang ada. Secara
common sense memang segera nampak oleh kebanyakan pengamat
kemustahilan gagasan serupa itu. Tetapi kenyataan menunjukkan
bahwa dugaan yang mustahil itu telah pernah melatarbelakangi
polemik dan kontroversi yang seru. Dan, sebagaimana telah
dikatakan, ternyata kekuatiran itu samasekali tidak terbukti,
malah justru banyak timbul gejala yang lebih positif.

Adanya kekuatiran itu, meskipun akhirnya ternyata tidak
terbukti, sebenarnya dapat dipahami, mengingat berbagai trauma
ideologis-politis masa lalu yang dialami oleh sebagian dari
masyarakat. Tetapi dari sudut pandangan mereka yang
bersemangat Keislaman, kekuatiran itu seharusnya tidak pernah
terjadi, tidak saja akhir-akhir ini tapi juga di masa lalu
yang lebih jauh, kalau saja terdapat kesadaran yang mantap
bahwa Pancasila itu dari beberapa fungsi dan kedudukannya
antara lain merupkan titik temu (common platform, kalimah
sawa’) antara berbagai komunitas kemasyarakatan (societal
community) dalam bangsa kita, terutama komunitas keagamaan.
Dan sistem keislaman, pencarian titik temu antara berbagai
agama yang berkitab suci seharusnya tidak merupakan hal baru,
karena hal itu telah menjadi perintah Allah kepada Rasul-Nya,
Muhammad saw:

Katakanlah olehmu, Muhammad: “Wahai para pengikut Kitab Suci!
Marilah kamu semua menuju kepada ajaran dasar kesamaan antara
kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah
-Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa sebagian dari kita-sesama
manusia -tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai
tuhan-tuhan selain Allah Tuhan Yang Maha Esa!” Tapi jika
mereka -para pengikut Kitab Suci itu- menolak maka katakanlah
olehmu sekalian wahai kaum beriman, kepada para pengikut Kitab
Suci itu: “Bersaksilah kamu semua bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri -kaum Muslim”. [3]

Jadi dalam firman Ilahi itu dijelaskan, pertama, adanya
perintah mencari titik temu antara para penganut berbagai
agama berkitab suci; kedua, titik temu itu ialah Tawhid atau
paham Ketuhanan Yang Maha Esa (Monoteisme); ketiga, Tawhid itu
menuntut konsekwensi tidak adanya pemitosan sesama manusia;
atau sesama mahkluk; keempat, jika usaha menemukan titik temu
itu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak
untuk secara bebas mempertahankan sistem keimanan yan
dianutnya.

Pandangan bahwa Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan prinsip paling dasar yang mempertemukan agama-agama
dalam keasliannya dengan sangat kukuh menjadi pandangan sistem
keislaman. Ini, misalnya, ditegaskan dalam firman Allah yang
menjelaskan bahwa ajaran pokok para Nabi dan Rasul ialah bahwa
mereka tidak menyembah sesuatu apapun kecuali Allah, Tuhan
Yang Maha Esa; “Dan Kami -Tuhan- tidak pernah mengutus seorang
Rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tiada
Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu semua akan Daku saja.”
[4]

Sekali lagi, dalam firman itu titik temu antara agama-agama
yang diperintahkan Tuhan untuk mengajak para pemeluk menuju
kepadanya ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Sepanjang
mengenai Pancasila, adalah tepat bahwa sila pertama itu,
menurut penyumbang pikirannya yang utama, Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua Umum Muhammadiyah saat itu, dimaksudkan sebagai Tawhid.
Lebih lanjut, mengikuti garis argumen dalam ilmu Ushul
al-Fiqh, sesudah satu titik temu yang paling pokok telah
disetujui, kemudian masih dapat disetujui pula titik temu lain
yang dipandang baik oleh semua, maka tentulah hal itu lebih
utama (afdlal). Sebuah qa’idah mengatakan: “Ma kana aktsara fi
‘lan kana aktsara fadl lan.” (Sesuatu -dari perbuatan baik-
semakin banyak dikerjakan, semakin banyak pula keutamaannya).

Di depan telah ditandaskan sifat Pancasila sebagai ideologi
terbuka, sesuai dengan rancangannya untuk landasan kehidupan
sosial-politik Indonesia yang plural dan modern. Suatu fase
kemantapan nasional amat penting telah terjadi di negeri kita
berkenaan dengan kefinalan Pancasila ini, yaitu diterimanya
ideologi itu sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dalam konteks pluralisme dan
keterbukaan. Tetapi Presiden Soeharto sendiri mengingatkan
bahwa kemantapan saja tidak cukup. Beliau katakan kepada para
peserta Kongres dan Seminar HIPIS di Ujungpandang 1986:
“Landasan ideologi yang mantap saja masih belum cukup, tetapi
harus membangun dan mengisinya dengan kemajuan dan peningkatan
kesejahteraan lahir batin. Hal itu berarti bahwa gambaran
mengenai masyarakat hari esok yang berlandaskan Pancasila
masih perlu kita jabarkan dan kita kembangkan lebih jauh”
(garis bawah dari kami).

Kutipan itu memberi kejelasan singkat tentang apa makna
pandangan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka.
Yaitu bahwa ia tidak memberikan penafsiran secara detail dan
nyata “sekali untuk selamanya,” tanpa bisa diubah-ubah. Jadi
ia tidak mengizinkan adanya indoktrinasi (yang telah
diperlihatkan contohnya dalam negeri-negeri komunis sebagai
kegagalan total). Melainkan Pancasila sebagai nilai-nilai
dasar harus senantiasa diusahakan merinci tuntutan-tuntutan
pokoknya dengan menghadapkan setiap konsep dan gagasan tentang
makna idealnya kepada kenyataan-kenyataan masyarakat kita yang
senantiasa berubah dan berkembang secara dinamis. Dan jika
diharapkan hasil yang optimal dari proses ini, maka dituntut
adanya sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi ruang
bagi adanya kebebasan (yang bertanggung jawab) untuk
menyatakan pendapat dan untuk menguji atau
mengeksperimentasikan gagasan dan ide dalam masyarakat.
Digariskan dalam QS. al-’Ashr, tidaklah cukup bagi manusia
untuk lepas dari kehinaan dan kesengsaraan hanya dengan adanya
komitmen pribadi melalui iman dan usaha mewujudkan komitmen
pribadi itu secara sosial melalui perbuatan, melainkan ia
masih perlu menempatkan dirinya dalam tatanan masyarakat yang
membuka kemungkinan adanya kebebasan saling menyatakan tentang
apa yang baik dan saling mengingatkan tentang keharusan tabah
dan ulet dalam usaha bersama menciptakan kehidupan yang baik
itu.

Di antara berbagai kenyataan sosial di Indonesia ialah,
sebagaimana telah dijabarkan, kenyataan Islam sebagai agama
rakyat terbanyak. Ini mengakibatkan adanya dua hal yang saling
terkait dengan erat. Pertama ialah keharusan memperhatikan
aspirasi mereka itu, yang tadi telah dimukakan sebagai inti
sistem kemasyarakatan kita. Mencoba mengabaikan mereka akan
merupakan tindakan melawan arus realita, dan karenanya
berbahaya. Adalah dalam perspektif ini kita harus memahami
pandangan yang pernah dikemukakan Bapak Ismail Saleh, Menteri
Kehakiman, tentang “Eksistensi Hukum Islam dan Sumbangannya
terhadap Hukum Nasional” (Kompas, Jakarta, 1, 2, dan 3 Juni
1989). Juga dari sudut pandangan itu kita dapat mengerti
pendapat Dr. Baharuddin Lopa bahwa peradilan di Indonesia di
masa depan akan lebih banyak berdasarkan ajaran-ajaran Islam
(The Jakarta Post), Jakarta, 6 Oktober 1987).

Namun akibat kedua adalah jauh lebih berat yaitu bahwa kaum
muslimin memikul tanggung jawab pembinaan yang sangat besar,
yang tidak cukup hanya dengan komitmen yang berkobar saja,
tetapi menuntut keahlian yang tinggi, baik tentang ajaran
Islam sendiri maupun tentang konteks ruang dan waktu Indonesia
modern.

CATATAN

1. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam Kerajaan
Hindu Vija yanagar yang meskipun bertahan dengan
Hinduismenya namun menyadarkan diri dari tentara Muslim
dan menggunakan tata cara Islam dalam lingkungan istana.
(Lihat Marshall Hodson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
2, h. 532).

2. Oleh karena itu sering nampak adanya hal-hal yang
anomalous atau menyimpang tentang India dan Indonesia
dalam kaitannya dengan Islam ini. Disebabkan oleh
perkembangan sejarahnya yang paling akhir sekitar
masa-masa pembentukan negara, Indonesia dengan mayoritas
penduduk Muslim sering menunjukkan sikap-sikap terhadap
Islam yang mengandung stigma politik. Bagi India, Islam
tidaklah mengandung serupa, selain kaitannya dengan
masa-masa partisi yang melahirkan Pakistan (kemudian
kelak juga Bangladesh), namun lambat laun India mampu
melihatnya sebagai lebih banyak masalah kebangsaan,
bukan keagamaan. Karena itu ketika pada masa permulaan
pembentukannya, OKI (Organisasi Konferensi Islam) tidak
mengikutkan India sebagai anggota (padahal mempunyai
jumlah kaum Muslim yang tidak kurang dari 80 jutaan),
Perdana Menteri Indira Gandhi waktu itu mengajukan
proses dan menuntut agar India diterima sebagai anggota.
Tapi pengalaman Indonesia sama sekali lain. Menteri Luar
Negeri Adam Malik dibuat repot menerangkan bahwa
Indonesia bukanlah anggota OKI, melainkan hanya sebagai
peninjau! Ini adalah karena adanya suara-suara keberatan
atas keanggotaan Indonesia dalam OKI, sekalipun
mayoritas penduduknya penganut Islam. Tentu saja
sekarang persoalannya sudah rampung: India tetap tidak
masuk OKI, dan Indonesia menjadi anggota penuh dengan
peranan semakin penting di dalamnya.

(Nurcholish Madjid).